Masyarakat Madani

BAB I

PENDAHULUAN

 

Masyarakat madani merupakan masyarakat yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama.[1] Masyarakat madani tidak hanya di identikkan dengan negara, namun kini dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat sebagai “area tempat berbagai gerakan sosial”[2] (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompok intelektual) serta organisasi sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukan berbagai kepentingan mereka. Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani dapat dihadapkan dengan istilah masyarakat Modern.

Indonesia yang notabenenya adalah mayoritas muslim terbanyak di dunia yang mencapai 80% dari keseluruhan masyarakatnya, ternyata hanya mempunyai 10% saja kualitasnya. Hal ini begitu ironi, mengingat sedikitnya masyarakat non-muslim tetapi mempunyai kualitas yang maksimal. Sehingga dari permasalahan inilah dapat menimbulkan konflik antar umat beragama. Terjadinya konflik antar agama seolah-olah menggambarkan wajah keagamaan dari sisi yang berbeda, secara diametral sangat kontradiktif, berlawanan seperti siang dan malam, yang satu mengajarkan kasih dan sayang, yang lain benci dan dendam.[3] Meskipun setiap agama mengajarkan perdamaian, kebersamaan sekaligus menebar misi kemaslahatan bagi lingkungan disekitarnya. Namun dalam tataran sosiologis, wajah agama tidak seideal seperti yang diharapkan tersebut. Kerap kali raut wajah agama tampak tercoreng dan ternoda dalam kecamuk konflik sosial, budaya, dan politik. Demikian itu sebenarnya bukan kesalahan ajaran agama itu sendiri, namun lebih diakibatkan human error, yakni sikap sebagian para pemeluknya yang kadangkala menafsirkan ajaran teologis-normatif secara serampangan.[4]

 

Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalah :

1.        Apakah hubungan antar tetangga yang berbeda keyakinan dalam suatu lingkungan masyarakat telah mencerminkan budaya masyarakat madani?

BAB II

ISI

 

A.     Landasan Teori

Masyarakat Madani merupakan wacana yang telah mengalami proses yang panjang. Ia muncul bersamaan dengan proses modernisasi, terutama pada saat terjadi transformasi dari masyarakat feodal menuju masyarakat Barat modern.[5] Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi, walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai tersosialisasi. “Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan Civil Society”. Sebab, “masyarakat Madani”, sebagai terjemahan kata civil society atau al-muftama’ al-madani.[6]

Istilah civil society juga ada yang mengartikannya identik dengan “masyarakat berbudaya” (civilized society). Lawannya adalah “masyarakat liar” (savage society). Pemahaman yang melatari arti ini sekedar mudahnya, agar orang menarik perbandingan dimana kata yang petama merujuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai-nilai sosial kemanusiaan. Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial diperhadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami (natural society).[7]

Kata madani sepintas orang mendengar asosiasinya dengan kata Madinah, memang demikian karena kata Madani berasal dari dan terjalin erat secara etimologi dan terminologi dengan Madinah yang kemudian menjadi ibukota pertama pemerintahan Muslim. Maka, “Kalangan pemikir muslim mengartikan civil society dengan cara memberi atribut keislaman madani (attributive dari kata al-Madani). Oleh karena itu, civil society dipandang dengan masyarakat madani yang pada masyarakat idial di (kota) Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam masyarakat tersebut Nabi berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok minoritas. Dengan begitu, kalangan pemikir Muslim menganggap masyarakat (kota) Madinah sebagai prototype masyarakat ideal produk Islam yang dapat dipersandingkan dengan masyarakat ideal dalam konsep civil society.[8]

Di Indonesia, masyarakat madani mengalami penerjemahan yang berbeda-beda dengan sudut pandang yang berbeda pula, seperti[9] :

1.        Masyarakat Madani : sistem sosial yang subur yang diasakan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perseorangan dengan kestabilan masyarakat.

2.        Masyarakat Sipil : prasyarat masyarakat dan negara dalam rangka proses penciptaan dunia secara mendasar baru dan lebih baik.

3.        Masyarakat Kewargaan : konsep yang merupakan respon dari keinginan untuk menciptakan warga negara sebagai bagian integral negara yang mempunyai andil dalam setiap perkembangan dan kemajuan negara (state).

4.        Civil Society : wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi berhadapan dengan negara, dan keterkaitan dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti oleh warganya.

Karakteristik masyarakat madani, antara lain[10] :

1.        Free Public Spehere

Adanya ruang publik yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan mewujudkan masyarakat madani dalam sebuah tatanan masyarakat, free public sphere menjadi salah satu bagian yang harus diperhatikan.

2.        Demokratis

Demokratis merupakan satu entitas yang menjadi penegak wacana masyarakat madani, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya, termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demokratis berarti masyarakat dapat berlaku santun dalam pola hubungan interaksi dengan masyarakat sekitarnya dengan tidak mempertimbangkan suku, ras, dan agama.

3.        Toleran

Toleran merupakan sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda.

4.        Pluralisme

Pluralisme tidak bisa dipahami hanya dengan sikap mengakui dan menerima kenyataan masyarakat yang majemuk, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan pluralisme itu sebagai bernilai positif, merupakan rahmat Tuhan.

5.        Keadilan Sosial (Social Justice)

Keadilan yang dimaksudkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Masyarakat memiliki hak yang sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).

Pilar penegak masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani. Pilar-pilar tersebut antara lain[11] :

1.        Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat tertindas.

2.        Pers, merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat mengaanalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warganegaranya.

3.        Supremasi Hukum, setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat harus tunduk kepada (aturan) hukum.

4.        Perguruan Tinggi, yakni tempat dimana civitas akademikanya merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah.

5.        Partai Politik, merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya.

 

 Kehidupan Bertetangga

Manusia adalah makhluk sosial yang harus bergaul dengan manusia lainnya dan tidak bisa menyendiri, tetapi harus berhubungan dan berinteraksi dengan sesamanya. Dalam bertetangga kita pasti akan saling membutuhkan satu sama lain.Tetangga merupakan orang yang kediamannya dekat dengan kita. Sebutan tetangga cakupannya umum. Tidak memandang siapa tetangga tersebut, baik yang muslim ataupun yang non-muslim, ahli ibadah ataupun orang biasa, teman ataupun musuh. Namun pengertian tetangga tidak hanya terbatas pada tetangga dalam artian hunian, tapi lebih luas dari itu. Sehingga juga mencakup tetangga di tempat kerja, di bangku sekolah, pasar, teman perjalanan, dan yang semisalnya.

Secara umum ada tiga kriteria tetangga, seperti yang dijelaskan para ulama[12] :

1.        Tetangga mempunyai tiga hak, yaitu tetangga muslim yang masih ada hubungan kekerabatan. Ia mempunyai hak kekerabatan, hak tetangga, dan hak Islam.

2.        Tetangga mempunyai dua hak, yaitu tetangga muslim namun tidak ada hubungan kekerabatan. Baginya hak Islam dan hak tetangga.

3.        Tetangga mempunyai satu hak, yaitu tetangga yang kafir. Baginya hak tetangga.

 

Gambaran Umum Kota Palembang

Kota Palembang adalah ibukota propinsi Sumatera Selatan yang mempunyai luas wilayah 400.61 km2 dengan jumlah penduduk 1.417.047 jiwa, yang berarti setiap km2 dihuni oleh 3.537 jiwa. Kota Palembang dibelah oleh Sungai Musi menjadi dua daerah, yaitu Seberang Ilir dan Seberang Ulu.[13]

Kota Palembang berbatasan dengan daerah-daerah sebagai berikut[14] :

·           Sebelah Utara berbatasan dengan desa Pangkalan Benteng, desa Gasing, dan Kenten Laut Kecamatan Talang Kelapa Kab. Banyuasin.

·           Sebelah Selatan berbatasan dengan desa Bakung Kec. Inderalaya Kab. Ogan Komering Ilir dan Kec. Gelumbang Kab.Muara Enim.

·           Sebelah Timur berbatasan dengan desa Balai Makmur Kec. Banyuasin I Kab. Banyuasin.

·           Sebelah Barat berbatasan dengan desa Sukajadi Kec. Talang Kelapa Kab. Banyuasin.

Kota Palembang terdiri dari enam belas kecamatan, yaitu Kec. Ilir Timur I, Ilir Timur II, Ilir Barat I, Ilir Barat II, Seberang Ulu I, Seberang Ulu II, Sukarame, Sako, Bukit Kecil, Gandus, Kemuning, Kalidoni, Plaju, Kertapati dan 2 kecamatan yang baru yaitu Kecamatan Alang-Alang Lebar dan Sematang Borang.[15] Dalam makalah ini penulis mengambil sampel dari kec. Ilir Timir II, tepatnya di Jl. Seduduk Putih I.

 

A.     Pembahasan

Berdasarkan berbagai referensi dan penelitian yang telah dilakukan penulis, didapat bahwa jumlah warga non-muslim di Jl. Seduduk Putih I kec. Ilir Timur II Palembang adalah 3 kepala keluarga. Satu diantaranya beragama Budha dan dua lainnya beragama Kristen. Yang menarik dari hal ini yaitu keluarga yang beragama Budha tinggal satu rumah dengan keluarganya yang beragama Islam. Sehingga menimbulkan satu tanda tanya bagi penulis untuk melakukan penelitian mengenai kerukunan, komunikasi, dan interaksi yang mereka lakukan.

Ada beberapa konsep yang perlu dijelaskan disini, yaitu mengenai kerjasama. Kerjasama itu sendiri merupakan kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama akan menimbulkan suatu interaksi yang dapat membuat kekompakkan antara suatu kelompok dengan kelompok lainnya, sehingga dapat meleburkan perbedaan yang ada. Umat beragama adalah penganut suatu agama yang berkembang di masyarakat. Terdapat tiga aspek dalam hal ini, yaitu kepercayaan, peribadatan, dan sosiologis.

Namun kadangkala diantara umat beragamapun masih sering terjadi konflik. Hal ini disebabkan karena kurang terjalinnya rasa persatuan dan kebersamaan antar tetangga yang berbeda keyakinan. Konflik memang suatu bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun konflik sebagai gejala yang tidak mungkin dihindari dalam masyarakat. Seperti yang terjadi pada salah satu keluarga yang menganut agama nasrani di lingkungan Seduduk Putih. Karena kesibukan dan kurangnya interaksi antar tetangga sehingga menyebabkan para warga yang lain tidak mengenal mereka. Jangankan untuk saling bertanya kabar, terlihat salah satu anggota keluarga keluar rumah untuk sekedar berkeliling pun tidak pernah. Padahal mereka sudah menetap kurang lebih 3 tahun. Sehingga tak jarang keluarga ini menjadi buah bibir bagi tetangga disekitarnya. Indonesia yang didalamnya memeluk beberapa kepercayaan agama yang berbeda, kerap kali penganutnya menampakkan hubungan yang tidak harmonis, ini disebabkan karena lebih didukung dengan sikapprasangkaketimbang sikap saling menghargai diantara pemeluknya.

Berbeda halnya dengan penganut agama ganda dalam satu atap tadi. Hubungan antara kedua anggota keluarga tersebut justru terlihat begitu baik. Mereka menjalankan aktivitas dan ibadah sesuai dengan agama yang mereka anut tanpa mengganggu yang lainnya. Bahkan ketika memasuki bulan suci Ramadhan, tak jarang yang lainnya ikut berpuasa untuk menghormati mereka  yang juga sedang puasa. Begitu juga ketika hari raya Waisak tiba, saat penganut agama Budha pergi ke Vihara ataupun di rumah saja untuk sembahyang, yang muslim tidak mengganggu. Perlu diketahui bahwa di dalam rumah mereka pun terdapat tempat sembahyang, dupa, dan berbagai peralatan beribadah untuk masing-masing keyakinan. Tidak hanya hubungan antar keluarga, hubungan antar tetangga juga terjalin baik. Disamping mereka yang kebetulan berprofesi sebagai penjual tahu keliling, yang menuntut untuk terjadinya kontak dengan pelanggan dan tetangga, keluarga mereka juga dikenal sebagai orang yang ramah dan jujur dalam berdagang.

Kembali ke penganut lainnya, yaitu pemeluk agama Kristen yang lain. Berbeda dari pemeluk nasrani sebelumnya, keluarga ini terlihat ada komunikasi dan interaksi antar tetangga, walaupun tidak seramah penganut agama Budha tadi.

Kesemarakan kehidupan beragama terdapat banyak kegiatan keagamaan masyarakat. Seperti setiap hari Minggu penganut Kristiani melakukan ibadat di gereja-gereja, umat Budha beribadah di Vihara, masyarakat Hindu melakukan ibadahnya di Pura-pura, sedangkan kegiatan keagamaan untuk agama Islam dilakukan di Masjid-masjid, Mushollah-mushollah, atau Langgar-langgar.

Masyarakat di wilayah Seduduk Putih I dapat hidup rukun dan damai, saling menghormati dan menghargai antara sesama umat berbeda agama. Hal ini dilakukan atas dasar kemanusiaan, bahwa sebagai bangsa Indonesia dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan untuk dapat hidup saling berbuat baik kepada siapapun.

Dalam hal agama, Allah tidak memaksa. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Laa ikraaha fiddin” artinya tidak ada paksaan dalam memilih agama. Masyarakat di wilayah ini, khususnya agama Islam beranggapan bahwa hanya agama Islamlah yang paling benar sesuai keyakinan mereka yang didasari dengan dalil “Innaddiina ‘indallahil Islam” yang artinya: “Sesungguhnya di sisi Allah hanya Islamlah yang paling benar”, walaupun pernyataan ini tidak diungkapkan di muka umum. Namun demikian, anggapan tersebut bertolak belakang dengan anggapan orang non-muslim yang menyatakan bahwa semua agama adalah benar, sama-sama menuju surga, hanya jalannya saja yang berbeda.

Meskipun berbeda dalam meyakini agamanya, masyarakat selalu merayakan hari raya agama masing-masing dan tidak saling kunjung mengunjungi diantara umat yang berbeda agama, kecuali penganut ganda dalam satu tempat tinggal tadi. Begitu pula bagi agama Kristiani yang sedang merayakan Natal, mereka saling berkunjung ke rumah sesama umatnya, sedangkan umat Islam tidak berkunjung ke rumah umat non-muslim. Apabila ada umat non-muslim yang mendapat musibah seperti meninggal dunia, maka umat Islam hanya berkunjung sebatas mengetahui tetangganya meninggal. Masyarakat Islam di wilayah ini tidak membolehkan umat berbeda agama beribadah di rumahnya, tetapi umat non-muslim membolehkan umat berbeda agama melakukan ibadah di rumahnya, walaupun memang belum pernah ada umat muslim beribadah di rumah umat non-muslim di wilayah ini. Hal yang dijelaskan tersebut diatas tidak berlaku bagi penganut Budha yang satu rumah dengan penganut Islam. Karena mau tidak mau, dan suka tidak suka mereka melakukan ibadah di bawah atap yang sama.

Dalam masalah do’a bersama, masyarakat di wilayah ini jarang sekali mengadakan do’a bersama antar umat berbeda agama, kecuali dalam merayakan hari besar nasional seperti peringatan tujuh belas Agustus.

Kerjasama Antar Umat Beragama

Masyarakat yang berada di wilayah Seduduk Putih I ini dalam kehidupan sehari-hari bisa hidup rukun dan damai, dengan dasar tidak saling mengganggu, tidak saling merendahkan, dan tidak saling mencurigai agama orang lain.

Setiap manusia tidak terlepas dari kegiatan-kegiatan seperti upacara perkawinan, khitanan, syukuran, kelahiran, dan sebagainya. Dalam pelaksanaan upacara tersebut, masyarakat merayakannya dengan mengundang teman-teman dan kerabat-kerabatnya terdekat dan para tetangga, walaupun berbeda agama. Biasanya umat non-muslim bila diundang oleh orang Islam sebagai tetangganya mereka datang menghadiri upacara tersebut. Namun jika umat non-muslim mengundang umat Islam ke upacaranya, jarang sekali terlihat orang muslim yang menghadiri undangan tersebut. Hal ini dikarenakan umat Islam memiliki keragu-raguan akan makanan yang disajikan oleh umat non-muslim. Jikalau datang pun hanya sebentar dan tidak sampai memakan makanan yang disediakan.

Manusia sebagai makhluk sosial tidak terlepas dari hubungan dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Tuhan telah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa sari jenis laki-laki dan perempuan, tidak lain adalah untuk saling mengenal, terjadi interaksi sosial, saling bekerjasama dalam kegiatan ronda malam, bersama-sama antar umat berbeda agama dalam hal kerja bakti membersihkan selokan, dan membersihkan jalan antar sesama warga ataupun Rukun Tetangga (RT).

Dengan kata lain pengembangan agama dan kehidupan keagamaan di satu pihak tidak boleh menjurus kearah tumbuhnya pemikiran dan pemahaman agama yang sempit. Di sisi lain toleransi umat beragama tidak boleh mengorbankan keyakinan agama masing-masing.

Ketidak harmonisan hubungan antarumat beragama merupakan salah satu dinamika dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini dikarenakan adanya interaksi atau kerjasama sosial diantara masing-masing umat beragama yang mempunyai nilai-nilai atau acuan yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang kehidupan ekonomi, politik, pendidikan, suku, dan agama.

Kerjasama yang rukun bisa terjadi apabila diantara mereka saling membutuhkan, saling menghargai perbedaan, saling tolong menolong, saling membantu, dan mampu menyatukan pendapat. Tetapi sebaliknya, konflik bisa saja terjadi bila masing-masing umat beragama tidak mampu menyamakan persepsinya. Konflik sosial dan kelas yang terjadi di Indonesia seringkali diartikulasikan dalam bentuk perseteruan ras dan keagamaan. Ada sebab yang memang sangat pelik, mengapa konflik antar agama di Indonesia sering terjadi. Hal ini tidak lepas dari sejarah yang memang sudah mengalami hubungan yang tidak harmonis diantara umat beragama.

Dalam masyarakat terjadi interaksi sosial antar komponen, baik secara individual, kelompok, maupun lembaga. Sesama umat beragama dapat hidup berdampingan, saling berhubungan antar suku, saling mempengaruhi, menjaga dan menghargai dalam harmonitas sosial yang terbina berdasarkan nilai dan norma yang berlaku. Yang menjadi masalah ialah adanya kegiatan-kegiatan keagamaan yang bersifat eksklusif, tidak bisa dikerjasamakan kecuali dalam kegiatan-kegiatan sosial.

BAB III

KESIMPULAN

 

Berdasarkan penelitian dan analisis yang telah dilakukan penulis di Jl. Seduduk Putih I kec. Ilir Timur II Palembang, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antartetangga yang berbeda keyakinan dalam lingkungan masyarakat sudah cukup baik, hanya saja untuk mencerminkan masyarakat madani itu belum memenuhi.

DAFTAR PUSTAKA

 

Azra, Azyumardi. 2003. Pendidikan Kewargaan. Jakarta: Prenada Media

Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Assegaf, Arifin. 2003. Agama dan Kekerasan. Yogyakarta: Interfidei Newsletter

Hamim, Thoha. 2007. Resolusi Konflik Islam Indonesia. Yogyakarta: LKiS Aksara

Wartawarga Student Journalism (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ : 17 Juni 2012)

Konsep Masyarakat Madani di Indonesia (http://zulfikarnasution.wordpress.com/ : 17 Juni 2012)

Tetangga Idaman (http://abu-riyadl.blogspot.com/ : 19 Juni 2012)

Dinas Kesehatan Kota Palembang (Profil Kesehatan Kota Palembang 2008)


[15] Dinas Kesehatan Kota Palembang (Profil Kesehatan Kota Palembang 2008 : 6)


[12] Tetangga Idaman (http://abu-riyadl.blogspot.com/ : 19 Juni 2012)

[13] Dinas Kesehatan Kota Palembang (Profil Kesehatan Kota Palembang 2008 : 5)

[14] Dinas Kesehatan Kota Palembang (Profil Kesehatan Kota Palembang 2008 : 5)


[11] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Pendidikan Kewargaan, 2003 : 250)



[8] Wartawarga Student Journalism (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ : 17 Juni 2012)

[9] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Pendidikan Kewargaan, 2003 : 240)

[10] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Pendidikan Kewargaan, 2003 : 247)


[5] Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Pendidikan Kewargaan, 2003 : 238)

[6] Wartawarga Student Journalism (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ : 17 Juni 2012)

[7] Adi Suryadi Culla (Masyarakat Madani, 1999 : 5)


[4] Thoha Hamim (Resolusi Konflik Islam Indonesia, 2007 : 5)


[1] Wartawarga Student Journalism (http://wartawarga.gunadarma.ac.id/ : 17 Juni 2012)

[2] Konsep masyarakat madani di Indonesia (http://zulfikarnasution.wordpress.com/ : 17 Juni 2012)

[3] Arifin Assegaf (Agama dan Kekerasan, 2003 : 12)


Categories: IAIN Refah | Leave a comment

Post navigation

Leave a comment

Blog at WordPress.com.